TUGAS SOFTSKILL KE-4
NAMA : FETRA SUSENO
NPM : 14114189
KELAS : 1KA39
Secara fisik, remaja memang sudah mampu melakukan hubungan seksual. Namun mereka belum siap secara mental, apalagi jika hubungan seksual dilakukan sebagai bisnis tertentu, misalnya dengan menjadi "cabe-cabean".
Menurut seksolog dan spesialis andrologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Wimpie Pangkahila, fenomena "cabe-cabean" merupakan perilaku seks remaja yang tidak sehat. Agar tidak terjerumus dalam perilaku seks remaja yang tidak sehat, maka pengetahuan tentang seksualitas adalah kuncinya.
"Remaja membutuhkan pengetahuan tentang seksualitas. Itulah kenapa perlu adanya pendidikan seks bagi mereka," tegas Wimpie saat dihubungi Kompas Health pada Jumat (4/4/2014).
Ia pun menyayangkan adanya anggapan bahwa pendidikan seks tidak perlu diberikan di sekolah karena dianggap justru memicu remaja melakukan hubungan seksual. Padahal menurut dia, tanpa pendidikan seks, remaja akan mengadopsi aktivitas seksual dari sumber yang tidak seharusnya. Misalnya saja melalui film porno atau bertanya pada teman yang pengetahuannya juga keliru.
Perilaku tersebut akhirnya berujung pada kesalahan dalam memaknai hubungan seksual. Maka tidak heran jika pemanfatan yang menyimpang, seperti memanfaatkan hubungan seksual demi mendapat uang, tidak ragu dilakukan.
Bicara soal seksualitas bukan cuma seputar hubungan intim pria dan wanita, tapi bisa juga tentang kesehatan dan perkembangan emosi.
Wimpie berpendapat, selain tidak adanya pendidikan seks yang benar, ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi fenomena remaja yang menjajakan seks. Pertama, minimnya perhatian dari orangtua. "Orangtua tidak tahu apa yang dilakukan anaknya di luar rumah, tidak dekat dengan anak," jelasnya.
Kedua, pengaruh lingkungan, khususnya teman sebaya. Ia menerangkan, teman sebaya sangat mempengaruhi perilaku seseorang, termasuk untuk melakukan hal-hal yang negatif.
Orangtua dan para pendidik di sekolah memiliki peran penting dalam mencegah merebaknya "cabe-cabean", sebuah fenomena di mana para pelajar SMP dan/atau SMA mulai menjajakan dirinya. Kedua pihak tersebut perlu memberikan pendidikan agama, moral, dan budi pekerti kepada mereka.
Kita semua tahu bahwa ruang-ruang publik yang ada di masyarakat perkotaan di dominasi oleh ruang komersial dan pusat-pusat hiburan yang tumbuh semakin subur. Sehingga muncul budaya anak muda yang berorientasi pada gaya, penampilan diri dan senang-senang. Bahkan ruang-ruang yang tersedia sangat jarang berorientasi pada nilai-nilai edukatif, di lain pihak ruang-ruang publik yang berorientasi pada hiburan mempunyai prosentase jauh lebih tinggi.
Artinya perubahan sikap atau tingkah laku remaja perkotaan yang mengarah kapada perilaku yang negatif sangat terkait dengan semakin minimnya ruang publik yang bersifat edukatif yang bisa menjadi wadah para remaja dalam mengisi waktu luangnya. Hal ini sangat berhubungan dengan kebijakan pemerintah terkait pembangunan tata ruang perkotaan, yang pasti akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, serta munculnya budaya baru.
Bahkan ketika fenomena cabe-cabean dianggap muncul dari arena balapan liar adalah sebuah bukti bahwa ia muncul karena minimnya ruang publik untuk melakukan hubungan sosial dan interaksi secara beradab.
Minimnya sarana atau media bagi para pemuda-pemudi ini untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif. Apalagi jika kita bicara fenomena cabe-cabean ini terkait dengan peran perempuan dalam ruang publik kita. Dimana perempuan hanya sekedar menjadi objek seksual belaka untuk menyenangkan hasrat laki-laki.
Sehingga istilah cabe-cabean merupakan cara pandang laki-laki yang membentuk streotype yang merendahkan perempuan serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Bahkan jika di tinjau lebih jauh, adanya istilah “cabe-cabean” merupakan sebuah praktik politik kultural melalui “penamaan” yang kaitannya dengan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.
Praktik politik kultural melalui penamaan ini (cabe-cabean) berpotensi besar dalam pembentukan identitas perempuan (remaja perempuan) yang di konstruksi oleh budaya partriarkal (laki-laki). Yang di takutkan dari munculnya istilah “cabe-cabean” ini adalah ia menjadi sebuah dasar pemahaman yang dapat membentuk identitas dan subjek perempuan di tengah masayarakat kita.
Referensi :
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/02/0821011/.Cabe-cabean.Miniatur.Eksploitasi.Manusia
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/01/1008468/Lika-liku.Bisnis.Cabe-cabean.di.Jakarta.